Header Ads

Link Banner

Gagasan Konstruktif Lembaga DPR Ditinjau Sebagai “The People's Representatives”

oleh : Triandi Bimankalid SH, Alumni Fakultas Hukum

terasunri.web.id - Gagasan parlemen sebagai badan atau lembaga yang menjalankan fungsi legislatif bervariasi penerapannya di berbagai negara. Dalam beberapa konstitusi, parlemen disebut dengan bermacam-macam nama. Untuk pengertian yang kurang lebih sama dengan pengertian parlemen, biasanya digunakan perkataan-perkataan yang berasal dari tradisi dan bahasa lokal dari negara yang bersangkutan. Tetapi banyak juga yang mengunakan perkataan Inggris, tentunya karena pengaruh dari bahasa Inggris. Di Indonesia lembaga ini disebut Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau disingkat DPR RI untuk Pusat, sedangkan di daerah  Propinsi (DPRD Tingkat I) dan kabupaten/kota disebut dan (DPRD Tigkat II).
  
Dalam tulisan ini penulis lebih mefokuskan bagaimana eksistensi lembaga tinggi DPR dalam mengejawantahkan kehadirannya sebagai “Representatif” Rakyat Indonesia. Dalam konteks negara, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam sistem politik dan sistem pemerintahan negara Republik Indonesia adalah merupakan salah satu lembaga tinggi negara dan sebagai wahana melaksanakan Demokrasi Pancasila. Kehadiran lembaga legislatif (DPR) merupakan institusi kunci dari cabang kekuasaan sebagai cerminan dari implementasi kedaulatan rakyat. Fungsi lembaga legislatif dipahami sebagai lembaga pembentuk norma umum dalam sebuah negara sekaligus sebagai lembaga yang menjadi representasi rakyat. Artinya, lembaga perwakilan hakikatnya mengandung hubungan yang bersifat kualitatif antara wakil (DPR) dan terwakil (rakyat). Sehingga hubungan tersebut mengandung makna akomodasi kehendak (aspirasi) terwakil dalam komunitas hidup bersama sebagai satu bangsa.

Menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, bahwa Dewan Rakyat adalah majelis atau badan yang terdiri dari beberapa orang anggota yang pekerjaannya memberi nasehat, memutuskan sesuatu hal dengan jalan berunding.
 
Dari konteks pengertian di atas, dapat dipahami, bahwa Dewan merupakan wakil rakyat yang menyuarakan aspirasi, sehingga rakyat mendapat keputusan yang jelas serta akurat, sehingga rakyat merasakan dirinya terwakili di parlemen rakyat tersebut. Bukan wakil partai politik yang merasa diri sebagai wakil rakyat. 

Fungsi dan kinerja DPR yang seringkali terungkap di media massa seringkali mengaburkan alasan penyebab (rationale) keberadaan DPR sebagai sebuah parlemen. Keberadaan DPR seringkali dirancukan dalam kaitannya dengan fungsi legislasi, dalam konteks ‘produk’, baik dalam ukuran kuantitas maupun kualitas, legislasi yang dihasilkan. DPR juga seringkali lebih tampil sebagai pengawas eksekutif karena aktivitasnya yang banyak mendapat perhatian media ketika menyoroti isu tertentu di eksekutif. 

Penulis juga menganalisa bahwa lembaga legislatif terlalu santai karena dominasi eksekutif, dan dalam potret ini dapat dilihat bahwa Dewan cenderung punya rasa takut kepada eksekutif. Padahal seharusnya Dewan dalam satu sisi adalah badan yang lebih tinggi dari Presiden di bidang eksekutif.  



Sebenarnya ada peran penting lembaga perwakilan yang perlu diingat pada titik ini. Sebuah peran yang menjadi alasan penyebab (rationale) lahirnya “lembaga perwakilan”, yaitu peran untuk menjembatani berbagai kepentingan dalam masyarakat. Perannya ini sesungguhnya merupakan peran DPR sebagai suatu lembaga politik. Perkembangan pemikiran mengenai negara dan organisasi negara berjalan selama berabad lamanya. Sejak model ‘demokrasi langsung’ dalam konsep negara-kota jaman Yunani kuno. Kemudian konsep organisasi negara semakin mengerucut pada bentuk pembagian peran politik dan konsep demokrasi perwakilan yang menjadi penanda dari apa yang disebut ‘demokrasi modern’. Dalam konsep yang diterapkan pada hampir semua negara di dunia pada saat ini, dikenal konsep cabang-cabang kekuasaan negara yang lahir dari pandangan Montesqieu. Walau kemudian pandangan ini diturunkan dalam berbagai variasi dalam hal prosedur relasi serta prosedur pemilihannya, pada dasarnya model pembagian peran politik seperti inilah yang digunakan.  

Sebagai lembaga politik dalam kerangka inilah DPR mestinya diletakkan. DPR sebagai lembaga politik melahirkan dua konsekuensi. Pertama, wewenang dan tugastugas serta implikasi dari wewenang DPR akan selalu terkait dengan konteks ‘kompetisi’ politik dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Kerangkanya adalah kompetisi yang menghasilkan pembatasan kekuasaan dan keseimbangan relatif relasi politik. Karena itu, kerjanya tidak bisa dinilai secara hitam-putih, secara biasa dalam ukuran kuantitas ataupun kualitas. Akan selalu ada konteks politik di atas di baliknya atau sebagai implikasinya. 

Secara umum Dewan Rakyat yang diinginkan adalah Dewan yang mampu satu rasa, satu tubuh dan satu rasa dengan rakyat. Bukan Dewan yang kerjanya hanya datang, duduk, diam, dengar dan duit (5D). Namun yang menjadi dambaan adalah Dewan yang membela kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi, keluarga, pejabat serta partainya. Melihat dan menyaksikan meningkatnya kekritisan masyarakat, Dewan tidak dapat lagi hanya 5 D saja, tetapi harus betul-betul menjadi wakil rakyat walaupun mereka dipilih melalui mekanisme parpol. Apabila Dewan hanya (5D) pada saat pemilu yang akan datang orang tersebut tidak mendapat simpati rakyat dan partainya tidak laik dan layak “dipasarkan” pada rakyat. Dan, motivasi rakyat pun kian berkurang pada Dewan karena merasa tidak terwakili oleh Dewan dari parpol tersebut.  

Dalam kehidupan ini semua manusia tahu kebaikan. Namun, sangat langka dan sulit untuk mendapatkan manusia yang mampu berbuat untuk kebaikan. Dan, manusia tahu keburukan, namun sedikit sekali yang dapat menghindarkan dirinya dari keburukan. Maka untuk menjadi wakil rakyat pun harus tahu niat apa yang ingin diperbuat untuk rakyat atau hanya menjadikan politik sebagai mata pencaharian, dan kinerja seperti itu merupakan orang-orang yang paling buruk untuk generasi penerusnya. Karena mewakili nafsu dan syahwat keserakahannya, tanpa dipandu nalar dan etika al-Qur’an dan as-Sunnah tapi lebih kepada budaya sekulerisme, hedonisme, glamorisme dan premisivisme. Kita berharap semoga kinerja Dewan terus dinamis serta betul-betul tampil dalam permasalahan yang meresahkan rakyat bukan hanya di gedung rakyat menanti orang demo. Kita pun mengharapkan Dewan dapat mengumbar benang-kusut persoalan anak bangsa saat ini. Bukan malah menjadi subjek yang selalu diperbincangkan.


 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.