Alumni Ini Memutus Ketergantungan Ikan Air Tawar Impor, Siapa Dia ?
Rizky Nova Dwiputra SPi (Ilmu Kelautan, 1998) |
riaupos.co, Universitas Riau - Keperluan ikan air tawar di Riau khususnya Kota Pekanbaru masih sangat
minim. Terbukti saat ini keperluan ikan air tawar masih harus diimpor
dari provinsi tetangga, bahkan mendominasi. Tidak hanya keperluan daging
ikan saja yang jelas-jelas memiliki nilai gizi yang cukup besar, bibit
ikan saja masih banyak yang didatangkan dari Sumbar atau daerah lainnya
di luar Riau.
Meski di Riau, khususnya Pekanbaru ada Fakultas Perikanan terutama di Universitas Riau yang mampu menelurkan sumber daya manusia yang tangguh di bidang perikanan, kenyataannya sedikit di antaranya yang benar-benar terjun dalam hal perikanan itu sendiri.
Sebagian dari alumnus Fakultas Perikanan justru berkarir di bidang finance atau perbankkan ada ada juga yang berkarir jauh dari track disiplin ilmu mereka.
Hal itu juga dilalui alumni Fakultas Perikanan Unri Jurusan Ilmu Kelautan tahun 1998 ini. Usai menyelesaikan pendidikannya di Unri, putra Pangean, Kuantan Singngigi tersebut memilih berkarir di bidang perbankkan. Cukup lama, mulai dari 2004 hingga 2016 ia berkarir di salah satu bank terkemuka di Riau. Namun akhirnya ia kembali memilih untuk kembali ke pangkal jalan sebagai petani ikan.
‘’Awalnya memang karir yang dilalui itu di perbankkan dan mungkin di sana rejekinya. Namun saya melihat prospek perikanan di Riau ini masih sangat besar, terutama dalam hal pembibitan ikan. Makanya, saya memilih untuk kembali ke pangkal jalan sebagai SDM yang
membudidayakan ikan. Ini pilihan hidup saya dan itu terbukti bisa berhasil,’’ ujar Rizky saat ditemui Riau Pos di Ridha Hatchery di belakang RS Aulia Panam.
Diceritakan Rizki, saat ini tempat usaha pembibitan ikannya tersebut sudah memiliki banyak jenis ikan komersil. Mulai dari ikan kosumsi seperti ikan nila, lele dan gurami, hingga ikan hias. Tidak hanya itu, berkat kerja keras bersama rekannya sesama alumni perikanan, ia tidak terlalu sulit dalam memasarkan hasil perikanannya.
Mulai dari Pelalawan, Bengkalis, Kuansing serta kabupaten lainnya. Soal profit, menurut Rizky cukup baik dibandingkan pembesaran.
Usaha yang dirintisnya saat ini hanya mengeluarkan modal sekitar Rp10 juta dan panen bisa dilakukan setiap bulan. Sementara untuk pembesaran, panen hanya bisa dilakukan setiap tiga bulan sekali.
‘’Jadi bisa dihitung sendiri, kita bisa panen setiap bulan sementara pembesaran itu tiga bulan sekali. Belum lagi dihitung pada pakannya, tentu lebih besar biaya pembesaran dibandingkan bibit. Ini adalah bukti perikanan darat masih memiliki prospek dan tidak ada ruginya. Intinya, perikanan darat itu masih memiliki prosepek bagus di Riau ini dan jangan pernah ragu,’’ jelasnya.
Soal inovasi, Rizky menyatakan sudah banyak melakukan percobaan dan hasilnya cukup memuaskan. Di antaranya, wadah menempelnya telur yang biasa menggunakan kekaban atau ijuk diganti dengan teknologi sederhana yang lebih praktis, yaitu rangkaian saringan.
Dengan begitu, tidak ada telur yang jatuh dan rusak dan tingkat gagal telur menetas bisa ditekan hingga 10 persen dari normalnya 20 persen. ‘’Jadi misalnya telur yang dihasilkan itu 1.500 telur tingkat menetasnya bisa mencapai 1.350 telur. Jadi lebih banyak bibit ikan yang kita hasilkan dibandingkan metode lainnya. Kualitas bibit juga bisa lebih baik karena berada di kolam kontrol yang lebih intensif,’’ terangnya.
Meski sudah cukup berhasil dengan pilihannya tersebut, Rizky juga memiliki harapan yang besar. Dengan kemampuan perikanan darat yang besar, Riau sudah harus memiliki industri turunan dari produk perikanan itu sendiri. Jadi ikan lele tidak dijual hanya dalam bentuk ikan saja, bisa juga dijual dalam bentuk nuget, dendeng, abon, steak, ham, burger dan lainnya.
Selanjutnya, setidaknya Riau memiliki plaza ikan air tawar yang menjual seluruh produk hulu maupun hilir dari sektor perikanan.
‘’Keinginan saya itu bagaimana meluruskan lagi alamnya perikanan seperti apa. Jangan sampai lebih banyak sarjana perikanan yang tidak bekerja pada habitatnya. Riau masih punya prospek perikanan yang baik, makanya itu harus dijemput. Setidaknya Riau bisa menjadi provinisi penghasil perikanan darat terbesar,’’ katanya.
Meski di Riau, khususnya Pekanbaru ada Fakultas Perikanan terutama di Universitas Riau yang mampu menelurkan sumber daya manusia yang tangguh di bidang perikanan, kenyataannya sedikit di antaranya yang benar-benar terjun dalam hal perikanan itu sendiri.
Sebagian dari alumnus Fakultas Perikanan justru berkarir di bidang finance atau perbankkan ada ada juga yang berkarir jauh dari track disiplin ilmu mereka.
Hal itu juga dilalui alumni Fakultas Perikanan Unri Jurusan Ilmu Kelautan tahun 1998 ini. Usai menyelesaikan pendidikannya di Unri, putra Pangean, Kuantan Singngigi tersebut memilih berkarir di bidang perbankkan. Cukup lama, mulai dari 2004 hingga 2016 ia berkarir di salah satu bank terkemuka di Riau. Namun akhirnya ia kembali memilih untuk kembali ke pangkal jalan sebagai petani ikan.
‘’Awalnya memang karir yang dilalui itu di perbankkan dan mungkin di sana rejekinya. Namun saya melihat prospek perikanan di Riau ini masih sangat besar, terutama dalam hal pembibitan ikan. Makanya, saya memilih untuk kembali ke pangkal jalan sebagai SDM yang
membudidayakan ikan. Ini pilihan hidup saya dan itu terbukti bisa berhasil,’’ ujar Rizky saat ditemui Riau Pos di Ridha Hatchery di belakang RS Aulia Panam.
Diceritakan Rizki, saat ini tempat usaha pembibitan ikannya tersebut sudah memiliki banyak jenis ikan komersil. Mulai dari ikan kosumsi seperti ikan nila, lele dan gurami, hingga ikan hias. Tidak hanya itu, berkat kerja keras bersama rekannya sesama alumni perikanan, ia tidak terlalu sulit dalam memasarkan hasil perikanannya.
Mulai dari Pelalawan, Bengkalis, Kuansing serta kabupaten lainnya. Soal profit, menurut Rizky cukup baik dibandingkan pembesaran.
Usaha yang dirintisnya saat ini hanya mengeluarkan modal sekitar Rp10 juta dan panen bisa dilakukan setiap bulan. Sementara untuk pembesaran, panen hanya bisa dilakukan setiap tiga bulan sekali.
‘’Jadi bisa dihitung sendiri, kita bisa panen setiap bulan sementara pembesaran itu tiga bulan sekali. Belum lagi dihitung pada pakannya, tentu lebih besar biaya pembesaran dibandingkan bibit. Ini adalah bukti perikanan darat masih memiliki prospek dan tidak ada ruginya. Intinya, perikanan darat itu masih memiliki prosepek bagus di Riau ini dan jangan pernah ragu,’’ jelasnya.
Soal inovasi, Rizky menyatakan sudah banyak melakukan percobaan dan hasilnya cukup memuaskan. Di antaranya, wadah menempelnya telur yang biasa menggunakan kekaban atau ijuk diganti dengan teknologi sederhana yang lebih praktis, yaitu rangkaian saringan.
Dengan begitu, tidak ada telur yang jatuh dan rusak dan tingkat gagal telur menetas bisa ditekan hingga 10 persen dari normalnya 20 persen. ‘’Jadi misalnya telur yang dihasilkan itu 1.500 telur tingkat menetasnya bisa mencapai 1.350 telur. Jadi lebih banyak bibit ikan yang kita hasilkan dibandingkan metode lainnya. Kualitas bibit juga bisa lebih baik karena berada di kolam kontrol yang lebih intensif,’’ terangnya.
Meski sudah cukup berhasil dengan pilihannya tersebut, Rizky juga memiliki harapan yang besar. Dengan kemampuan perikanan darat yang besar, Riau sudah harus memiliki industri turunan dari produk perikanan itu sendiri. Jadi ikan lele tidak dijual hanya dalam bentuk ikan saja, bisa juga dijual dalam bentuk nuget, dendeng, abon, steak, ham, burger dan lainnya.
Selanjutnya, setidaknya Riau memiliki plaza ikan air tawar yang menjual seluruh produk hulu maupun hilir dari sektor perikanan.
‘’Keinginan saya itu bagaimana meluruskan lagi alamnya perikanan seperti apa. Jangan sampai lebih banyak sarjana perikanan yang tidak bekerja pada habitatnya. Riau masih punya prospek perikanan yang baik, makanya itu harus dijemput. Setidaknya Riau bisa menjadi provinisi penghasil perikanan darat terbesar,’’ katanya.
Post a Comment