(Alumni) Ini Ke Pelosok Negeri Demi Bayar "Hutang"
Nurjannah
Siregar (24) melepas kenyamanannya. Ia melanglang sejauh 3.700 kilometer dari
rumahnya di Kota Padang Sidimpuan, Sumatera Utara, ke Pulau Selaru, Provinsi
Maluku. Gadis berhijab itu nyaris sendirian di tengah masyarakat yang mayoritas
berbeda keyakinan. Pengabdian di ujung negeri ini adalah caranya berterima kasih
kepada negara. Suatu malam jelang akhir Agustus, Jen, sapaan Nurjannah,
menyambut muridnya di depan pintu rumah tempat ia tinggal di Selaru. Setiap
anak yang datang mengucapkan, ”Excuse me, Miss. Good evening (permisi, Ibu.
Selamat malam).”
Beberapa ucapan terdengar sempurna, tetapi masih ada yang
terdengar kurang tepat. Dengan senyum lebar, Jen merespons satu per satu salam
itu. ”Come in please (silakan masuk),” jawabnya. Ekspresi itu ia tunjukkan demi
membangun rasa percaya diri murid-muridnya. Suatu penghargaan bahwa mereka
sudah bisa berbahasa Inggris kendati masih sebatas salam. Sangat mungkin
anak-anak di Desa Lingat, Pulau Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, yang
berbatasan dengan Australia itu, bisa berbahasa Inggris dengan fasih. Tentu
kesungguhan belajar dan keberanian mencoba menjadi kuncinya. Esi Utlela, siswi
kelas VII SMP Negeri 3 Selaru, mulai membuktikan hal itu. Ia memperkenalkan nama lengkap, umur, dan
hobinya.
Padahal, sebelum Jen bertugas di Lingat tahun lalu, Esi belum mengenal
dengan baik angka dan huruf dalam bahasa Inggris. Kebanyakan anak-anak di sana
tidak mau belajar bahasa Inggris lantaran takut salah dan jadi bahan ejekan.
Bahasa Inggris menjadi momok. Jen mulai mengenalkan bahasa Inggris di SD Inpres
Lingat, tempat ia mengabdi sebagai Penggerak Tanimbar, Agustus tahun lalu.
Penggerak Tanimbar adalah sebutan bagi peserta Gerakan Tanimbar Mengajar,
program pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Ada 15 peserta yang
bertugas di Tanimbar, sebutan lain untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Program itu baru berlangsung satu tahun. Ajakan belajar bahasa Inggris dari Jen
pun menyebar ke sekolah terdekat. ”Ada orangtua yang mau bayar beta (saya),
tetapi beta bilang seng (tidak) usah. Cukup bawa buku dan pena saja,” kata
lulusan Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Riau itu berdialek
Melayu Ambon. Mengajar bahasa Inggris hanya satu dari sekian kegiatan Jen. Ia
juga mengajar beberapa kelas di SD Inpres Lingat, melatih guru-guru, dan
menggelar kegiatan seni budaya di pulau yang terdiri atas tujuh desa itu.
Semangat berbagi
Untuk
mencapai Lingat, Jen melewati perjalanan panjang dan melelahkan. Dari Padang
Sidimpuan, ia menumpang bus selama lebih kurang 12 jam ke Pekanbaru, Riau. Dari
sana, ia menggunakan pesawat udara ke Jakarta selama 1 jam 50 menit. Lalu, ia
terbang langsung ke Ambon sekitar 3 jam 15 menit. Selanjutnya, kembali terbang
ke Saumlaki, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat, selama 1 jam 40 menit. Selepas
dari Saumlaki, Jen mengganti moda transportasi menggunakan perahu cepat ke
Selaru dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Perjalanan laut cukup menantang di
Selat Egron, jalur yang tak pernah teduh sepanjang tahun. Tiba di Pelabuhan
Adaut, ia menggunakan ojek ke Lingat sekitar 1 jam.
Kondisi jalan yang sebagian
besar tanah membuatnya berteman debu sepanjang 30 kilometer itu. Lantas, apa
yang dicari Jen dan Penggerak Tanimbar lain? ”Saya ingin berbagi pengalaman dan
pengetahuan bagi yang membutuhkan. Saya juga mendapat banyak pengalaman,
terutama tentang keberagaman. Meski seorang Muslim di tengah mayoritas penduduk
yang beragama Kristen Protestan, saya sangat dihargai,” jawabnya. Warga Pulau
Selaru yang berpenduduk sekitar 13.000 jiwa itu semuanya memeluk Kristen
Protestan. Konsultan Gerakan Tanimbar Mengajar, Atina Handayani (28),
mengatakan, motivasi Penggerak Tanimbar adalah ingin mengenal semesta Nusantara
sekaligus mengabdi kepada negeri.
Jika melihat penghasilan, uang saku dari
pemerintah daerah jauh di bawah kebutuhan. Belum lagi tingginya harga barang di
Tanimbar. Lulusan Sastra Perancis Universitas Gadjah Mada itu sejenak
meninggalkan rumahnya di Yogyakarta yang terpaut sekitar 2.300 kilometer dari
Tanimbar. Bukan baru kali ini Atina mengabdi di daerah terpencil. Ia sebelumnya
menjadi Pengajar Muda pada Program Indonesia Mengajar di Lebak, Banten.
Baginya, pengabdian itu sebagai bentuk balas budi kepada negara yang telah
membuatnya bisa seperti saat ini, termasuk mengenyam pendidikan di kampus ternama.
”Hampir sebagian besar biaya pendidikan saya adalah beasiswa. Itu saya anggap
sebagai utang dan mengabdi ke pelosok adalah cara saya membayar ’utang’ itu
kepada negara,” kata Atina.
Perluas
cakrawala
Inisiator
Gerakan Tanimbar Mengajar, Bitzael S Temar, yang juga mantan Bupati Maluku
Tenggara Barat, mengatakan, kehadiran Penggerak Tanimbar sangat memberi
inspirasi bagi generasi muda setempat. Kini, anak-anak Tanimbar mulai berani
bermimpi tak sebatas menjadi polisi, tentara, guru, atau pendeta. Cakrawala pengetahuan
mereka terbuka lewat para pengajar Penggerak Tanimbar. ”Kalau sekarang kami
tanya ke anak sekolah dasar, pasti banyak yang punya cita-cita ingin menjadi
pilot atau astronot,”
Sumber : https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170902/281496456425886
Post a Comment