SETYA NOVANTO KETUA DPR LAGI, TIDAK ETIS !
Dari semua
fraksi tidak ada yang menolak pencalonan Novanto sebagai Ketua DPR. Fadli
kemudian menanyakan apakah para peserta sidang paripurna menerima Novanto
sebagai Ketua DPR. Dan mereka pun secara serempak menyatakan setuju. Novanto
kemudian menjalani pelantikan dan mengucapkan sumpah jabatan dengan dipimpin
hakim dari Mahkamah Agung. Tak ada masalah dalam proses ini, Ketua Umum Partai
Golkar itu pun sah menduduki posisi yang pernah dia tinggalkan dahulu menyusul
kasus ‘Papa minta saham”.
Sosok Setya
Novanto seakan tidak pernah lepas dari pertentangan. Bahkan munculnya
kontroversi sudah dimulai sejak Politikus gaek partai Golkar itu terpilih
menjadi ketua Dewan Perwakilan Rkayat (DPR) pada awal Oktober 2014 lalu.Abraham
Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ketika itu, blak-blakan mengungkapkan
keprihatinan dan kekecewaannya atas terpilihnya pria yang akrab disapa Setnov
itu. Saat itu Abraham secara terbuka menyatakan terpilihnya Setnov sebagai
orang nomor satu di parlemen berpotensi mempunyai masalah hukum dan dapat
merusak citra DPR sebagai lembaga terhormat.
Tentunya bukan
tanpa alasan kalau Abraham menyesalkan terpilihnya Setya Novanto. Sederetan
kasus dugaan korupsi pernah memaksa Setnov harus bolak-balik menjalani
pemeriksaan sebagai saksi. KPK sendiri pernah beberapa kali memeriksa Setnov.
Tak hanya KPK, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta juga meminta
keterangan Setnov. Ketua Umum Partai Golkar ini pernah diperiksa perkara suap
terkait pembangunan lanjutan venue Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII.
Tersangkanya dalam kasus itu ada mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Penyidik
KPK bahkan pernah menggeledah ruang kerja Setnov pada 19 Maret 2013.
Kembalinya Setya
novanto menjadi Ketua DPR mempertaruhkan banyak hal seperti citra Golkar, citra DPR, dan citra Pak Setya
sendiri yang bisa bertambah negatif . Kondisi yang dialami oleh DPR dan Golkar
sekarang tidak mudah. Orang mengambil satu posisi jabatan sebagai ketum Golkar
dan Ketua DPR, itu pekerjaan yang berat, pekerjaan Setya pun tidak akan
maksimal pada dua tempat yang ia pimpin. Tugas Setya di DPR, akan menyita
waktunya mengurus Golkar dan begitu juga sebaliknya.
DPP Golkar
menyatakan pengembalian jabatan itu sebagai bentuk pemulihan harkat dan
martabat pribadi Setya dan Partai Golkar.Kita khawatir keinginan pemulihan nama
baik itu itu tidak tercapai karena Setya sendiri sudah memiliki citra buruk di
mata publik.Suka tidak suka, mau tidak mau, di publik sudah terbangun opini
bahwa Setya melanggar etika berat. Apa lagi dia mengundurkan diri, karena
terlibat kasus yang sangat serius soal pencatutan nama Presiden, kasus yang
sempat menjadi pusat perhatian masyarakat saat itu.
Selain itu
dugaan adanya intervensi Istana Negara terkait pengembalian jabatan Ketua DPR
kepada Setya tidak terelakkan. Kecurigaan itu muncul karena Ade dijanjikan
jabatan kenegaraan oleh Presiden dan juga pimpinan partai Golkar, Aburizal
Bakrie menjelaskan Dewan Pembina dan DPP Golkar akan menyiapkan jabatan
kenegaraan untuk Ade. Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan DPP Golkar
Yorrys Raweyai menyatakan, jabatan untuk Ade sudah dibahas dengan jelas di
internal partai. Rencananya bisa saja Ade Komaruddin diletakkan menjadi duta besar, menteri, pimpinan di Badan
Pemeriksa Keuangan, di Otoritas Jasa Keuangan atau jabatan kenegaraan lain.
Yorrys mengaku Golkar akan memperjuangkan jabatan kenegaraan untuk Ade.
Dari sisi hukum,
tidak ada halangan bagi Setya Novanto untuk mendapatkan kembali jabatannya
sebagai ketua DPR RI. Karena Setya Novanto masih menjadi anggota DPR RI, dan
Itu hak dari Partai Golkar dalam mengajukan nama pimpinan DPR RI. Setelah
adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa alat bukti yang
digunakan untuk perkarakan Novanto di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak
memiliki dasar hukum. Maka, secara materil dan subtansi tuduhan pelanggaran
etik kepada Novanto tidak sah. Setya Novanto pun berhak untuk kembali mendapatkan
apa yang menjadi haknya. Terlebih, Ade sebelumnya menjadi Ketua DPR karena
mengisi kekosongan
Dari segi etika
ketatanegaraan, itu tidak santun. Setya Novanto pernah mengundurkan diri
sebagai ketua DPR karena ada krisis etika dan krisis hukum dalam konteks kasus
'papa minta saham. Cacat etis pergantian pimpinan DPR hanya atas alasan
kehendak politik, bukan kehendak dan kepentingan rakyat.
Kita
saat ini seakan hidup di era Dagelan, Menteri dicopot, dinaikkan lagi. Ketua
DPR dicopot, dinaikkan lagi. Bisa jadi buku-buku yang kita baca untuk melihat
ciri sosok yang layak dijadikan pemimpin menjadi tidak berguna lagi.
Post a Comment