Padzli : Masalah kebakaran Lahan Riau Karena Pemerintah dan Perusahaan Langgar UU
antarariau.com, Universitas Riau - Peneliti dan pengamat masalah agraria di Provinsi Riau mengatakan sebab
dan bencana yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan hutan adalah
bentuk dari kesalahan pembuat kebijakan selama ini.
"Sebab masalah kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau adalah dari kebijakan yang salah," ujar Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau, Dr. Pazli, Selasa.
Menurutnya tidak ada yang lebih disalahkan selain pembuat kebijakan karena dalam menetapkan perizinan pemerintah daerah dan jajaran birokrasinya sudah ada rambu-rambu yang harus ditaati.
"Namun pada kenyataanya prinsip dalam undang-undang dilanggar, pembangunan perkebunan tidak berbasis pada keadilan," lanjutnya.
Jika menilik pada peraturan perundang-undangan Agraria satu perusahaan dapat menguasai lahan perkebunan maksimal seluas 100.000 ha untuk seluruh indonesia.
"Tetapi apa yang terjadi untuk PTPN V saja di Riau punya luas lahan 90.000 ha, inilah yang dimaksud tidak berkeadilan, terutama dalam hal distribusinya," terangnya.
Dengan demikian maka banyak sebenarnya perusahaan yang menerobos aturan luas lahan ini sehingga eksploitasi dilakukan dengan ganasnya karena tidak lagi melihat peraturan yang ada diatasnya.
Ia menambahkan peta hutan Provinsi Riau yang diberikan kepada pemerintah pusat pada masa lalu ketika program transmigrasi pertama digulirkan tidak singkron dengan kondisi sebenarnya, akibatnya lahan gambut tidak terdeteksi sebagai lahan gambut.
"Jika bisa kembali kemasa lalu dan pemerintah Riau memberikan Peta yang benar mungkin distribusi perusahaan perkebunan akan lebih sesuai dengan keadaan sebenarnya," tambahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan undang-undang agraria adalah yang terpenting.
"Kembali pada undang-undang adalah kunci mengembalikan marwah hutan Riau," tutupnya.
"Sebab masalah kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau adalah dari kebijakan yang salah," ujar Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau, Dr. Pazli, Selasa.
Menurutnya tidak ada yang lebih disalahkan selain pembuat kebijakan karena dalam menetapkan perizinan pemerintah daerah dan jajaran birokrasinya sudah ada rambu-rambu yang harus ditaati.
"Namun pada kenyataanya prinsip dalam undang-undang dilanggar, pembangunan perkebunan tidak berbasis pada keadilan," lanjutnya.
Jika menilik pada peraturan perundang-undangan Agraria satu perusahaan dapat menguasai lahan perkebunan maksimal seluas 100.000 ha untuk seluruh indonesia.
"Tetapi apa yang terjadi untuk PTPN V saja di Riau punya luas lahan 90.000 ha, inilah yang dimaksud tidak berkeadilan, terutama dalam hal distribusinya," terangnya.
Dengan demikian maka banyak sebenarnya perusahaan yang menerobos aturan luas lahan ini sehingga eksploitasi dilakukan dengan ganasnya karena tidak lagi melihat peraturan yang ada diatasnya.
Ia menambahkan peta hutan Provinsi Riau yang diberikan kepada pemerintah pusat pada masa lalu ketika program transmigrasi pertama digulirkan tidak singkron dengan kondisi sebenarnya, akibatnya lahan gambut tidak terdeteksi sebagai lahan gambut.
"Jika bisa kembali kemasa lalu dan pemerintah Riau memberikan Peta yang benar mungkin distribusi perusahaan perkebunan akan lebih sesuai dengan keadaan sebenarnya," tambahnya.
Lebih lanjut ia mengatakan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan undang-undang agraria adalah yang terpenting.
"Kembali pada undang-undang adalah kunci mengembalikan marwah hutan Riau," tutupnya.
Post a Comment