Header Ads

Link Banner

Tantangan bagi Sistem Pendidikan Nasional

Universitas Riau - Novaldi Herman Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Riau - Sepekan terakhir siaran radio kerap menyiarkan pembahasan mengenai ujian nasional (UN) yang akan dilaksanakan. Ujian tersebut masih seperti sebelumnya, yakni menguji kemampuan kognitif para peserta didik dalam menangkap materi yang diberikan selama proses belajar-mengajar yang telah dilalui. Dalam beberapa mata pelajaran yang ditempuh, peserta didik yang mengikuti UN dinyatakan lulus atau tidak berdasarkan hasil tolok ukur dalam ujian tersebut.

Mekanisme UN sendiri telah dimulai dan pada saat ini telah memasuki tahap pendistribusian dan pemeliharaan soal-soal yang akan diujiankan. Lebih lagi, mekanisme yang diberlakukan saat ini diharapkan dapat menjaga kondisi UN jauh dari kata kecurangan. Memang dalam pelaksanaan sebelum ini, kerap kali terjadi aduan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Sayangnya hal tersebut sudah menjadi rahasia umum dan biasa di tengah masyarakat. 

Pendekatan pendidikan yang lebih bertolak pada nilai-nilai kognitif semata seperti ini memang tak salah, tapi tidak pula sepenuhnya baik. Kita dapat merujuk pada poin kedua dari konsiderans (bagian “menimbang”) UU Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, “bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Dari sana dapat diambil pemaknaan bahwa pendidikan tidak hanya menitikberatkan pada kemampuan dan daya serap anak terhadap materi yang disajikan semata, lalu diujiankan dalam soal-soal tertulis baik esei atau juga pilihan ganda. Tapi juga pada terbentuknya pribadi tersebut dari sistem pendidikan yang dijalankan. 

Mengenai hal ini, kita dapat merujuk pada esensi pendidikan yang dikemukakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, cendikiawan filsafat kontemporer dalam tulisannya The Concept of Education in Islam. Pendiri International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) ini berpandangan bahwa, “Education is a process of instilling something into human beings.” Atau dalam penekanan pemaknaan lainnya, “Education is something progressively instilled into man.” 

Bila bertolak dari amanat UU Sistem Pendidikan Nasional, serta apa yang disampaikan oleh Prof. al-Attas, tentu pendidikan nasional melalui mekanisme UN sebagai tolok ukurnya belumlah bisa dikategorikan berhasil. Sebab dalam pendidikan yang semata menjalankan UN saja sebagai prosesi menuju ke-khatam-annya hanya menghasilkan para peserta didik yang lulus dari segi intelektual, tapi belum terukur dari segi rasionalitas seperti moral, etika dan adab. 

Maka wajar lahir frasa, “Congratulation that your graduation. So, what’s the next step?” menjadi senjata ampuh terhadap satir dari sistem pendidikan saat ini. Peserta didik kerap kali sekadar menjalankan ritual pendidikan yang mulai dari pendidikan dasar, menengah, hingga atas, lalu melanjutkan ke jenjang profesi. Sementara pandangan hidup (worldview) yang lebih besar seperti yang diamanatkan konstitusi menjadi terabaikan. Lebih lagi tenaga pendidik pun, walau tak semua, sekadar menjalankan rutinitas mengajar dengan penyampaian materi semata. 

Kato Nan Ampek 
Hasil dari proses pendidikan yang lebih pada orientasi kognitif dan nilai-nilai intelektual semata ini berimplikasi langsung pada model masyarakat kontemporer. Kerap didapati orang-orang seakan bersaing satu sama lain dalam kehidupan. Segala tindakan diukur dari sisi materi serta prestasi (prestise dalam banyak kasus) dan mengenyampingkan nilai-nilai moral. Gaya pendidikan yang materialistik seperti ini melahirkan pribadi-pribadi yang memandang segala sesuatu dari sisi materi, lalu kerap menampik nilai-nilai yang lebih luhur. 

Seperti misalnya dalam melihat suatu kejahatan. Konsep yang dalam kata lain disebut kemungkaran ini, saat mendapatinya di depan mata orang-orang lebih memilih menghindarkan diri dan mengelak sebab khawatir akan merepotkan dirinya dan tidak memberi keuntungan secara langsung sama sekali. Di depan matanya, orang kerap membiarkan copet kabur dari korbannya. Di depan matanya, orang membiarkan tetangganya melakukan perbuatan asusila. Di depan matanya, orang tak lagi menegur wanita yang berpergaulan bebas dan buruk dengan laki-laki lainnya. 

Padahal bila merujuk pada perspektif Islam misalnya, tindakan amar ma’ruf dan nahi munkar (amru bil ma’ruf wa nahyi anil munkar) merupakan sikap yang penting. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap insan. Amar ma’ruf nahi munkar artinya memerintahkan kepada yang baik (al-ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (al-munkar). Misalnya sabda Nabi,
Barang siapa di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran, hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika ia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak mampu, (ubahlah) dengan hatinya. Dan, itulah selemah-lemah iman.” (Riwayat Muslim dan Ashabus Sunan)
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya...(at-Taubah ayat 71).


Jadi jelaslah amal ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang sangat ditekankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, bahkan terdapat sejumlah dampak buruk bagi masyarakat jika amar ma’ruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab Allah akan turun kepada seluruh warga masyarakat, tergolong yang baik maupun yang zalim.
Dan jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan, ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya.” (al-Anfaal ayat 25)
 
Nilai-nilai seperti ini yang kerap terabaikan oleh kebanyakan orang dan dalam hal ini termasuk lingkungan pendidikan yang ada. Sementara amanat UUD 1945 pada sistem pedidikan adalah meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penerapan dari teori-teori dalam sistem pendidikan, kadang kala berbenturan dengan apa yang ada di tengah masyarakat. Terjadi split personality manakala di lingkungan sekolah hanya mengajarkan materi-materi kognitif. Sementara di lingkungan keluarga dan masyarakat, pribadi-pribadi tersebut dihadapkan dengan tuntutan situasional yang bila tidak dikuatkan dengan nilai-nilai luhur akan berbenturan satu sama lain. 

Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, kato nan ampek dikenal sebagai landasan dalam bersikap dan bertingkah laku. Ada kato mandaki, yakni sikap hormat kepada yang lebih tua; kato manurun, yakni sikap arif dalam mengajar yang lebih muda; kato mandata, yakni sikap pada orang-orang sebaya, serta; kato malereng, yakni sikap pada ikatan-ikatan adat seperti pada mamak-kemenakan. Dalam kato nan ampek tersebut diajarkan bagaimana menjadi seorang yang selain berilmu dan berpengetahuan luas, seseorang juga dituntut tahu dengan adab dari penerapan pada masing-masing porsinya. 

Namun saat ini hal itu sudah jauh ditinggalkan. Pandangan materialis mengubah beberapa cara pandang dari masyarakat. Seorang ayah sudah sulit menegur anak perempuannya agar bergaul yang baik dan tak melanggar batas hanya karena anaknya memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Seorang mamak (paman) tidak sanggup menasihati kemenakan (keponakan) sebab anak dari saudara perempuannya itu memiliki penghasilan lebih besar. Ukuran kekayaan dan kemakmuran kerap kali membuat nilai-nilai luhur tergerus. 

Dahulu setiap anak yang hendak diajarkan mengaji di surau-surau, orang tuanya akan memberikan sebuah rotan sebagai simbolisasi penyerahan kepercayaan sepenuhnya dalam mendidik anaknya. Orang tua mengamanatkan bahwa ia rela anaknya ditegur bila berbuat salah. Walau sejatinya rotan tersebut tidak akan pula dipecutkan pada anak mereka. 

Sementara saat ini para guru dihadapkan pada situasi dilematis. Di satu sisi mereka hendak mendidik anak-anak di kelasnya dengan nilai-nilai normatif sebagai penyeimbang nilai-nilai intelektual. Metode wajar dalam menanamkan nilai normatif seperti moral dan etika, tentu apabila anak didik melakukan tindakan yang melanggar akan ditegur. Namun sayangnya, teguran pada anak didik sering dianggap sebagai bentuk kekerasan guru pada murid. Dalam situasi seperti itu, para guru menjadi lebih memilih “main aman” dan menjalankan aktivitas belajar-mengajar sekadar transfer ilmu pengetahuan saja. 

Padahal tujuan pendidikan adalah menanamkan kebajikan baik segi perikemanusiaan (humanity) dalam hubungan antarindividu, juga segi kejiwaan personal yang dalam konstitusi disebut dengan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hasilnya adalah manusia yang baik, yakni dalam kehidupan materiil dan spiritual. Selain pembentukan aspek individualitas, juga diharapkan lahirnya masyarakat yang ideal. Oleh sebab masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan, maka setiap individu atau sebagian besar di antaranya haruslah orang-orang baik yang tercetak melalui proses pendidikan yang mendalam. 

Bilalah memang institusi formal pendidikan seperti sekolah sudah baku mendidik manusia dari sisi kognitif dan intelektual, maka lingkungan di luar itu seperti keluarga dan masyarakat diharapkan menjadi pendidik dari sisi moralitas. Sekolah menjadi pembimbing intelektualitas para peserta didiknya, lalu keluarga di rumah memperkaya teori yang didapat sebelumnya untuk diamalkan dalam kehidupan dengan sisi-sisi normatif dan tidak saling berlawanan. Kesinergian ini akan membentuk keseimbangan yang diharapkan dari suatu proses pendidikan. 

Begitulah nilai-nilai yang diharapkan dapat kembali diangkat dalam Sistem Pendidikan Nasional. Keterpaduan dan kesinergian antara intelektualitas dan moralitas dalam membentuk peradaban yang baik menjadi tujuan utama. Tentu dengan kondisi saat ini menjadikan gagasan tersebut punya tantangan tersendiri. Namun jauh dari semua itu, bukan tidak mungkin kemajuan sistem pendidikan dalam segala segi dapat tercapai olehnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.