HIJAB HALAL ATAU KAMU AKU HALALIN?
Dari Teguh Pambudi, Mahasiswa Manajemen 2012
Opini - Dunia pemberitaan
selalu memberi informasi kepada kita semua, baik itu berita bersifat
netral maupun bersifat tendensius—pada akhirnya tidak ada yang mutlak
netral dan tak ada pula mutlak tendensius. Beberapa pekan belakangan ini
misalkan, dari sekian berita yang menjadi headline media ada yang
bersifat politis, ekonmi, criminal sampaibersifat SARA. Salah satunya
berita tentang stempel Logo halal dari badan yang berisi para ulama
(Red; MUI) pada hijab dengan pemegang merek ZOYA.
Berita tentang munculnya jilbab berstempel Halal ini awalnya tidak terlalu bergeming ke publik sampai para netizen menjadikanya sebuah “meme”. Ya, memanga masyarakat sekarang lebih mudah percaya dan terkontaminasi pikirannya melaui hal yang bersifat hiburan. Program FTV, dan manusia hewan-hewanan misalnya. Meme tentang “hijab halal” seolah menjadi viral bagi netizen, ada beberapa yang menganggap ide ini konyol, adapula yang mengganggap sinis-bengis kepada MUI (sang pemilik stempel halal-haramnya produk) karna beranggapan logo Halal ialah bisnis yang dilegalkan. Untuk itu, peulis ingin membalas komen-koment sinis kalian berdasarkan ilmu ke-ekonomi-an dan sedikit bumbu logika dasar.
Penerapan stempel Halal pada hijab sebenarnya jika ingin menelisik lebih dalam sebelum kita memberi komentar, hendaknya mengetahui apa yang dihahalkan oleh MUI itu sediri, yang dimaksud dari halal pada produk Zoya ialah bahan kain yang diproses menjadi sebuah kerudung, jilbab and something else. berasal dari bahan yang mana proses pencuciannya menggunakan bahan textile alai dari tumbuhan dan tidak mengandung unsur yang diharamkan atau yang bersifat najis mughallazah—menjadi najis meskipun hanya menyentuh. Lantas apa yang salah dari pihak Zoya yeng mengklain produknya halal?
Selanjutnya, penerapan logo halal sendiri merupakan sebuah trik Bisnis!, ya, benar ini merupakan trik bisnis yang dilakukan oleh pihak ZOYA, BUKAN MUI. Dengan penggunakan label halal yang mengundang berbagai decak-sarkas dan kemudian banyak netizen yang menyebarkan berita ialah cara atau strategi yang dilakukan pihak Zoya selain akan menambah knowledge masyarakat tetang produk berbahan dasar tumbuhan (yang diklaim halal) juga meningkatkan tigkat efisensi yang sangat signifikan dari bidang promosi, karna netizen dengan suka rela membagikan berita tersebut tanpa tahu matif dari pihak Zoya itu sendiri dan masyarakat yang penasaran akan mencari retail Zoya untuk membeli produk tersebut. Zoya memang cerdas dalam bermarketing dengan biaya iklan yang sangat minim. Zoya telah menerapkan strategi marketing yang dicetuskan oleh Michael Porter tentang keunggulan kompetitiv, melalui 1. Diferensiasi, produk sejenis jilbab, kerudung ataupun lainnya bisa dengan banyak kita jumpai di pasaran, namun coba saya tanya, siapa yang menerapkan strategi stempel “hijab halal” pada produk hijab sejenis selain Zoya. Nothing!. Ini dari segi diferensiasi. 2. Efisiensi. Sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa pihak Zoya telah melakukan dan mendapatkan sebuah efisiensi dalam sebuah cost promotion . pihak Zoya tidak perlu menyebarkan ke media cetak, televise dan online secara continiu. Namun produk yang ditawarkan telah sampai kepada konsumen, berbagai mendia masa, online dan cetak berbondong-bondong menyiarkan kehebohan hijab halal ini. Well, sekali lagi Zoya itu memiliki marketer yang Epic sehingga menghasilkan promosi yang apik!. Atau mungkin dengan saya membuat tulisan ini akan menambah rating dari Zoya sendiri?. Ah sialan!
Penggunaan label halal pada suatu produk tentu penting—terutama untuk umat Muslim, mengingat banyaknya produk yang beredar dipasaran mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi tiang “akidah”. Namun, bukan berarti dengan tidak adanya stempel halal yang dikeluarkan oleh MUI, menjadikan produk yang kita konsumsi ialah haram. Halal-haram bukan soal stempel kawan. Pernahkah kita berfikir betapa nikmatnya kuah gulai nasi ramas dan lauk ampera jalan Bina Krida melewati gerbang UNRI tepi FKIP yang kita konsumsi sehari-hari, apakah tertera stempel halal MUI dikaca depan kedai tersebut? Saya rasa tidak. Lantas, apakah produk yang kita konsumsu tersebut menjadi haram? Silakan jawab sendiri. Ini hanya permainan logika sederhana saja,
Jadi, pada akhirnya kamu mau hijab halal atau aku halalin?
Berita tentang munculnya jilbab berstempel Halal ini awalnya tidak terlalu bergeming ke publik sampai para netizen menjadikanya sebuah “meme”. Ya, memanga masyarakat sekarang lebih mudah percaya dan terkontaminasi pikirannya melaui hal yang bersifat hiburan. Program FTV, dan manusia hewan-hewanan misalnya. Meme tentang “hijab halal” seolah menjadi viral bagi netizen, ada beberapa yang menganggap ide ini konyol, adapula yang mengganggap sinis-bengis kepada MUI (sang pemilik stempel halal-haramnya produk) karna beranggapan logo Halal ialah bisnis yang dilegalkan. Untuk itu, peulis ingin membalas komen-koment sinis kalian berdasarkan ilmu ke-ekonomi-an dan sedikit bumbu logika dasar.
Penerapan stempel Halal pada hijab sebenarnya jika ingin menelisik lebih dalam sebelum kita memberi komentar, hendaknya mengetahui apa yang dihahalkan oleh MUI itu sediri, yang dimaksud dari halal pada produk Zoya ialah bahan kain yang diproses menjadi sebuah kerudung, jilbab and something else. berasal dari bahan yang mana proses pencuciannya menggunakan bahan textile alai dari tumbuhan dan tidak mengandung unsur yang diharamkan atau yang bersifat najis mughallazah—menjadi najis meskipun hanya menyentuh. Lantas apa yang salah dari pihak Zoya yeng mengklain produknya halal?
Selanjutnya, penerapan logo halal sendiri merupakan sebuah trik Bisnis!, ya, benar ini merupakan trik bisnis yang dilakukan oleh pihak ZOYA, BUKAN MUI. Dengan penggunakan label halal yang mengundang berbagai decak-sarkas dan kemudian banyak netizen yang menyebarkan berita ialah cara atau strategi yang dilakukan pihak Zoya selain akan menambah knowledge masyarakat tetang produk berbahan dasar tumbuhan (yang diklaim halal) juga meningkatkan tigkat efisensi yang sangat signifikan dari bidang promosi, karna netizen dengan suka rela membagikan berita tersebut tanpa tahu matif dari pihak Zoya itu sendiri dan masyarakat yang penasaran akan mencari retail Zoya untuk membeli produk tersebut. Zoya memang cerdas dalam bermarketing dengan biaya iklan yang sangat minim. Zoya telah menerapkan strategi marketing yang dicetuskan oleh Michael Porter tentang keunggulan kompetitiv, melalui 1. Diferensiasi, produk sejenis jilbab, kerudung ataupun lainnya bisa dengan banyak kita jumpai di pasaran, namun coba saya tanya, siapa yang menerapkan strategi stempel “hijab halal” pada produk hijab sejenis selain Zoya. Nothing!. Ini dari segi diferensiasi. 2. Efisiensi. Sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa pihak Zoya telah melakukan dan mendapatkan sebuah efisiensi dalam sebuah cost promotion . pihak Zoya tidak perlu menyebarkan ke media cetak, televise dan online secara continiu. Namun produk yang ditawarkan telah sampai kepada konsumen, berbagai mendia masa, online dan cetak berbondong-bondong menyiarkan kehebohan hijab halal ini. Well, sekali lagi Zoya itu memiliki marketer yang Epic sehingga menghasilkan promosi yang apik!. Atau mungkin dengan saya membuat tulisan ini akan menambah rating dari Zoya sendiri?. Ah sialan!
Penggunaan label halal pada suatu produk tentu penting—terutama untuk umat Muslim, mengingat banyaknya produk yang beredar dipasaran mengandung unsur-unsur yang berbahaya bagi tiang “akidah”. Namun, bukan berarti dengan tidak adanya stempel halal yang dikeluarkan oleh MUI, menjadikan produk yang kita konsumsi ialah haram. Halal-haram bukan soal stempel kawan. Pernahkah kita berfikir betapa nikmatnya kuah gulai nasi ramas dan lauk ampera jalan Bina Krida melewati gerbang UNRI tepi FKIP yang kita konsumsi sehari-hari, apakah tertera stempel halal MUI dikaca depan kedai tersebut? Saya rasa tidak. Lantas, apakah produk yang kita konsumsu tersebut menjadi haram? Silakan jawab sendiri. Ini hanya permainan logika sederhana saja,
Jadi, pada akhirnya kamu mau hijab halal atau aku halalin?
Post a Comment