Header Ads

Link Banner

Fenomena LGBT, HAM versus Agama

Oleh : Erdianto Effendi, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Riau
 
radarbangka.co.id, Universitas Riau - DUA arus utama dalam menyikapi sekelompok masyarakat yang disebut  lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT) adalah arus yang mendukung atas nama hak asasi manusia versus arus yang menentang atas nama nilai-nilai moral dan agama. Atas nama HAM LGBT dianggap sebagai kodrat dan bawaan lahiriah yang karenanya wajib dilindungi oleh negara dan masyarakat. Hak-haknya (menurut paham ini) bukan hanya wajib dilindungi tetapi dihormati untuk melakukan tindakan sebagaimana manusia lainnya, termasuk untuk menikah sesama jenis.
Di sisi lain, mereka yang menentang beranggapan bahwa perilaku LGBT adalah penyakit yang sebenarnya “bisa disembuhkan”.  Jangankan menikah sesama jenis, perilaku LGBT pun menurut kelompok ini adalah perilaku yang tidak boleh ada dalam masyarakat. Pebedaan cara pandang ini  makin menjurus ke arah yang sangat serius menyusul dilegalkannya pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat.

Akar Masalah
Perseteruan ini sesungguhnya tidak perlu terjadi jika semua kelompok sepakat dan paham tentang bagaimana negara Republik Indonesia ini diselenggarakan. Dasar bangunan negara bernama Indonesia dibangun oleh landasan bernama Pancasila yang pada prinsipnya menganut beberapa prinsip dasar yang menggabungkan nilai-nilai HAM universal, nilai-nilai moral agama dan nilai lokal keindonesiaan. Perdebatan tentang pola relasi negara dan agama sesungguhnya sudah selesai dalam rapat-rapat BPUPKI saat pada pendiri negara ini merancang dasar fondasi kita dalam bernegara. Disepakati bahwa negara kita bukan negara agama tetapi menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan moral kehidupaan bernegara. 
 
Sayangnya kedua kelompok yang saat itu berbeda pendapat yaitu kelompok nasionalis dan kelompok agama punya tafsir masing-masing atas kesepakatan itu. Jadi lah persoalan tentang pola relasi agama dengan negara tidak pernah berakhir hingga saat ini.  Bagi kelompok agama (dalam hal ini Islam), negara didirikan tidak lain tidak bukan untuk melaksanakan perintah Tuhan di muka bumi. Cara pandang yang diyakini bersumber dari Alquran dan Hadits sesungguhnya menemukan titik taut pada teori Kedualatan Tuhan yang juga dikenal dalam hukum literatur ilmu negara yang dipelajari di Barat. 
 
Di sisi lain, kelompok nasionalis berpendapat bahwa hukum negara dibuat dan dibentuk berdasarkan kesepakatan warga negara dengan para pemimpin (factum unionis atau factum subjektionis) yang bertitik taut dengan teori kedaulatan rakyat atau teori kontrak sosial. Dalam khasanah filsafat hukum, teori kedaulatan rakyat atau teori kontrak sosial akan menghasilkan pemikiran teori positivisme hukum yang mendalilkan bahwa hukum adalah sesuatu yang senagaj dibentuk oleh negara melaluli lembaga-lembaga pembuat undang-undang. Sedangkan teori kedaulatan Tuhan akan menghasilkan teori hukum alam yang mendalilkan bahwa hukum Tuhan adalah hukum yang harus dilaksanakan oleh negara tanpa mengabaikan adanya juga hukum yang perlu dibuat oleh negara. Adapun kelompok yang ketiga yang mendalilkan bahwa hukum tidak perlu dibuat namun menyerahkan kepada nilai-nilai yang hidup di tengah sesuatu masyarakat (ubi ius ubi societas).

Nilai dan Kaedah
Seandainyapun kita mengabaikan adanya hukum alam dan hukum sosial, dalam ilmu tentang kaedah penyusunan perundang-undangan, tetap lah nilai-nilai moral menjadi dasar pijak penyusunan kaedah hukum positif. Kaedah yang disusun oleh lembaga pembuat undang-undang harus lah berjiwakan nilai moral yang jika tidak berlandaskan moral, maka kaedah hukum tersebut adalah kaedah hukum yang kosong, hampa tanpa ruh moralitas di dalamnya. Perdebatan dalam ranah politik hukum adalah nilai moral manakah yang patut dijadikan landasan pembentukan kaedah hukum mengingat demikian banyaknya nilai-nilai yang dianut dan diyakini sebagai nilai-nilai kebenaran oleh masyarakat. Sesungguhnya di situ lah perdebatan itu perlu terjadi dengan sesengit-sengitnya dengan catatan jika palu sudah diketuk, maka seharusnya lah tidak ada lagi perdebatan. 
 
Terkait hak-hak kaum LGBT, perdebatan tersebut sesungguhnya sudah selesai. Di dalam Undang Undang Perkawinan, yang boleh menikah adalah seorang pria dengan seorang wanita. Tidak ada tafsir lain atas subjek hukum bernama pria dan wanita itu. Perkawinan sesama jenis sudah tentu perbuatan melawan hukum. Jika dikaitkan dengan HAM, tidak satupun pasal tentang HAM baik dalam Undang Undang HAM maupun dalam konstitusi yang membolehkan pernikahan  sesama jenis. Jika saat ini ada keberatan, maka silakan saja menempuh upaya-upaya legal seperti mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau mengajukan legislatife review untuk merevisi undang-undang terkait. Maka biarlah wakil-wakil rakyat yang berwenang berdebat dan menentukan nilai mana kah yang cocok dan sesuai sebagai landasan moral bagi kaedah hukum Indonesia.
 
Konsep HAM yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah bahwa dalam hal-hal tertentu terdapat HAM yang memang dapat dibatasi (HAM relatif). HAM yang absolut yaitu hak yang tidak boleh dikurangi dan dilanggar siapa saja sesuai prinsip nonderogable human rights. Hak-hak itu antara lain hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas kebebasan pribadi, hak atas pikiran dan nurani, kebebasan beragama, hak untuk tidak diperbudak dan hak atas kesamaan hukum serta hak untuk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut. 
 
HAM relatif penggunaannya dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang  dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban  umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.