Header Ads

Link Banner

Sambut Muharram, Refleksi Sejarah dan Pemaknaan Tahun Baru Islam 1439 Hijriyah

oleh : Fitri Hardianti (Alumni Lembaga Studi Mahasiswa Islam (LSMI) AL-Madani Universitas Riau)

terasunri.web.id - Awal dibentuknya tahun baru islam (Hijriyah) diawali dari keresahan yang dirasakan oleh umat islam dalam menetapkan tahun.  Hal ini dibuktikan dengan fakta sejarah yang menyatakan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW, orang-orang Arab tidak menggunakan tahun dalam menandai  apapun, tetapi hanya menggunakan hari dan bulan sehingga membingungkan.

Contohnya saja pada waktu Nabi Muhammad SAW lahir dinyatakan pada tahun gajah. Hal ini membuktikan bahwa pada masa itu belum mengenal angka sehingga  masih mengaitkan sesuatu terhadap peristiwa yang terjadi karena memang pada saat Nabi Muhammad SAW  lahir sedang terjadi penyerangan Ka’bah oleh Raja Abrahah  yang bala tentaranya menggunakan gajah.

Gagasan mengenai perlunya pembentukan kalender islam pernah dilontarkan oleh Ya’la bin Umayah yakni seorang gubernur di Yaman pada masa kekhalifahan Abu Bakar, namun pembentukan kalender islam ini baru terealisasikan pada zaman khalifah Umar. Diriwayatkan oleh Al-Biruni bahwasanya pada masa khalifah Umar bin Khatab, Abu Musa al-asy’ari yang menjadi gubernur di Bashrah (irak) saat itu mengirim surat kepada beliau, yang isinya menyatakan bahwasanya;

“kami telah banyak menerima surat dari Amirul Mu’minin, dan kami tidak tahu mana yang harus dilaksanakan. Kami sudah membaca satu perbuatan bertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu sya’ban mana yang dimaksud. Sya’ban sekarang atau sya’ban mendatang di tahun depan ?”.

 Ternyata surat yang dikirim oleh Abu Musa juga dirasakan oleh Khalifah Umar sebagai sindiran halus tentang perlunya ditetapkan satu penanggalan (kalender) yang sama, yang nantinya digunakan sebagai tanggal, baik dikalangan umum maupun di pemerintahan.

Penetapan momentum mengenai kapan sebaiknya waktu yang digunakan dalam menentukan permulaan tahun islam, dilakukan khalifah dengan mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh seluruh ulama dan para tokoh muslim. Dalam pertemuan itu, ada empat usul yang dikemukakan :

  1. Dihitung dari kelahiran nabi Muhammad SAW;
  2. Dihitung dari wafat Rasulullah SAW;
  3. Dihitung dari hari di mana Rasulullah menerima wahyu pertama di Gua Hira, yang merupakan awal tugas risalah kenabian;
  4. Dihitung mulai dari Rasulullah melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. (usul yang terakhir ini disampaikan oleh Ali Bin Abu Thalib)

Tetapi baik kelahiran nabi, maupun permulaan risalah kenabian tidak diambil sebagai awal penanggalan islam, karena tanggal-tanggal tersebut menimbulkan kontroversi mengenai waktu yang pasti dari kejadian-kejadian itu. Hari wafat nabi juga tidak berhasil dijadikan tanggal permulaan kalender, karena dipertautkan dengan kenangan-kenangan menyedihkan pada hari wafatnya.

Nantinya malah akan mendatangkan kesedihan dan sendu dalam kalbu setiap umat islam. Sehingga disetujuilah, agar penanggalan islam ditetapkan berdasarkan hijrahnya baginda Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Mengenai kapan tepatnya Nabi Muhammad SAW hijrah, ditemui beberapa informasi pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan sebelum Nabi Muhammad SAW sampai di Madina, beliau terlebih dahulu singgah di Quba pada hari senin 12 Rabi’ul Awwal/ 24 September 622 M, di sini beliau tinggal selama 4 hari hingga tanggal 15 Rabi’ul Awwal/ 27 September 622 M.

Pada hari Jum’at, 16 Rabi’ul Awwal/ 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Kemudian di tengah perjalanan Nabi Muhammad SAW, turunlah kewajiban jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jumu’ah). Maka nabi Muhammad SAW sholat jumat bersama rombongannya dan kutbah di tempat itu. Setelah melaksanakan shalat Jum’at, Nabi pun melanjutkan perjalanannya ke Madinah. (Di dalam Tarikh, at-Thabari, I : 571; Sirah Ibnu Hisyam, Juz III Hal. 22; Tafsir Al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98)

Karena itu, maka dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW sampai ke Madinah yakni di bulan Rabi’ul Awwal. Kemudian persoalan lain datang mengenai permulaan bulan pada kalender tahun Islam, ada yang mengusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrah Nabi Muhammad SAW) namun ada pula yang berpendapat lain yakni di bulan Muharram. Hingga akhirnya Khalifah Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah diawali dengan 1 Muharram yang bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M.


Tentang Perayaan Tahun Baru

Mengenai perayaan tahun baru islam itu sendiri dimaknai untuk mengenang peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW yang mana Madinah yang pada awalnya dikenal dengan respon atau tanggapan dari masyarakatnya yang kurang berkenan dengan ajaran Islam namun ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, Islam bahkan menjadi agama yang sangat berkembang pesat pada saat itu. Peringatan tahun baru islam tiap 1 Muharram dimulai sejak tahun 1970-an yang ide awalnya berasal dari perkumpulan cendikiawan Muslim di Amerika Serikat. Waktu itu maraknya fenomena dakwah, masjid-masjid dipenuhi Jemaah, sehingga dikatakan sebagai munculnya kebangkitan Islam.

Adanya peringatan Tahun baru islam (Hijriyah) yang dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharram sebenarnya merupakan suatu bentuk sarana dalam mengingat kembali peristiwa-peristiwa sejarah dalam Islam yakni hijrahnya Nabi Muhammad SAW, melihat bagaimana perjuangan beliau dahulunya dalam mensyiarkan islam. Perjuangan beliau dalam memperjuangkan agama Islam, karena bukan hal yang mudah apabila kita lihat kembali sejarah bagaimana masyarakat Arab pada masa itu, begitu membenci Islam hingga akhirnya berubah menjadi mencintai Islam, itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah namun Nabi Muhammad SAW tetap taat pada perintah ALLAH SWT untuk terus mensyiarkan agama Islam.

Tahun Baru Islam di Riau

Peringatan tahun baru islam di Indonesia dirayakan dalam berbagai bentuk kegiatan, ada yang merayakan dengan melakukan pawai obor, pengajian dan bentuk-bentuk perayaan lainnya. Salah satunya yang dilakukan di Provinsi Riau, Kabupaten Indragiri Hilir yang mana setiap memperingati tahun baru islam maka akan diadakan Gema Muharram, yang mana pada peringatan Gema Muharram dilakukan dengan cara buka puasa bersama dengan memakan bubur Asyura bersama-sama di lapangan Gajahmada Tembilahan pada tanggal 10 Muharram.

Selain itu, dalam memeriahkan perayaan tahun baru islam juga ditampilkan kesenian khas dari Kecamatan Gaung yaitu pembacaan Berzanji dengan tabuhan 1001 Berdah (gendang khas Indragiri Hilir).

Selanjutnya, tahun baru Islam bukan semata-mata hanya dijadikan sebagai ceremony semata, namun adanya refleksi terhadap diri pribadi tentang apa yang sudah kita lakukan selama setahun ini, apakah diri kita menjadi pribadi yang lebih taat lagi? atau bahkan mengalami futur (melemahnya iman) kita? lalu sudah banyakkah manfaat yang kita berikan bagi lingkungan di sekitar kita ? atau kehadiran kita hanya menjadi kemudharatan belaka? semua pertanyaan ini, kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Ajak diri kita untuk muhasabah sebanyak dan serutin mungkin, karena sesungguhnya manusia tidak akan lepas dari kesalahan-kesalahan selama masih ada hawa nafsu di dalamnya.

Perbaiki diri menjadi pribadi yang lebih bertakwa lagi kepada Allah SWT agar nantinya kita bisa mempertanggungjawabkan waktu-waktu yang telah kita habiskan di dunia ini untuk kepentingan di jalan Allah SWT. Jadikan momentum tahun baru ini menjadi awal kehidupan bagi kita untuk memperbaiki diri, agar nantinya kita menjadi orang yang layak untuk masuk ke Jannah-Nya. Amiinn Ya Rabbal Alamiinn…


Sumber : http://www.gomuslim.co.id/read/opini/2017/09/21/5542/muharram-refleksi-sejarah-dan-pemaknaan-tahun-baru-islam-1439-hijriyah.html

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.