RIAU SETELAH MINYAK HABIS Oleh Muhammad Ikhsan Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau
Muhammad Ikhsan Dosen Pasca Sarjana Universitas Riau, Universitas RIau - TAHUN 2016, Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah
Kabupaten/ Kota se Provinsi Riau dihadapkan dengan kenyataan turunnya
Dana Bagi Hasil (DBH) yang nilainya ratusan miliar rupiah untuk setiap
kabupaten/kota dan provinsi. Kalau ditotal se-Provinsi Riau, nilainya
triliunan rupiah juga.
Penurunan DBH ini adalah sebagai imbas dari
menurunnya harga minyak dunia secara drastis dari kisaran 100 dolar AS
menjadi sekitar 30 dolar AS saja. Turunnya volume lifting
minyak bumi di Riau dari tahun ke tahun juga memperparah pendapatan dari
sektor pertambangan minyak bumi ini. Bahkan pemutusan hubungan kerja
sudah mulai menghantui karyawan-karyawan sektor perminyakan di Riau.
Jika kita masih konsisten dengan target-target Visi Riau 2020, mestinya
kita harus bercermin kembali untuk melihat posisi kita sekarang dan
manuver apa yang harus dilakukan untuk mencapai masyarakat Riau
sejahtera lahir dan batin tersebut.
Struktur Ekonomi Riau
Penggerak utama ekonomi Riau saat ini yaitu minyak bumi, perkebunan
(terutama kelapa sawit, karet, dan kelapa), industri makanan dan
minuman (terutama pengolahan kelapa sawit dan kelapa),
kehutanan/penebangan kayu, dan industri kertas. Hal ini terlihat jelas
di dalam besaran kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Provinsi Riau dari tahun ketahun.
Penurunan produksi minyak bumi di Riau tahun 2010 sampai 2014 ditunj
ukkan dari kontribusi minyak dan gas bumi pada PDRB Riau yang merosot
dari 26,2 persen tahun 2010 menjadi 19,09 persen tahun 2014. Jumlah PDRB
(harga konstan 2010) untuk minyak dan gas bumi di Provinsi Riau pun
merosot dari Rpl01,8 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp 85,4 triliun
pada tahun 2014 (merosot 16 persen).
Meskipun demikian, di tengah merosotnya produksi minyak bumi,
terselip hal yang menggembirakan. Kontribusi perkebunan pada PDRB Riau
naik dari 14,41 persen tahun 2010 menjadi 15,85 persen tahun 2014. Bisa
diduga, kontribusi perkebunan kelapa sawit adalah paling besar di sini.
Perkembangan positif lainnya yang menonjol adalah kontribusi industri
makanan dan minuman naik dari 15,69 persen tahun 2010 menjadi 19,45
persen tahun 2014, mengalahkan kontribusi minyak bumi yang “hanya" 19,09
persen.
Sementara itu, kontribusi kehutanan dan penebangan kayu turun dari
4,65 persen tahun 2010.menjadi 3,72 persen tahun 2010, yang sebanding
dengan penurunan kontribusi industri kertas dari 4,16 persen tahun 2010
menjadi 3,61 persen tahun 2014.
Prioritas Pembangunan
Dibandingkan dengan sektor-sektor utama di dalam PDRB seperti pertanian, pertambangan, manufacturing, konstruksi, dan pelayanan, maka kontribusi sektor pelayanan (Services)
di dalam PDRB Riau tergolong masih kecil, padahal potensi untuk
berkembangnya besar sekali. Hal yang sangat menarik adalah apabila kita
membandingkan kontribusi PDRB pada sektor pelayanan yang terdiri dari
perdagangan, transportasi, pergudangan, pengadaan listrik dan
seterusnya.
Jawa Timur diambil karena mewakili provinsi di Indonesia
yang rasanya setingkat lebih maju dari padaRiau. Sedangkan Turki
mewakili negara besar yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya
setingkat lebih maju daripada Indonesia. Artinya, jika Riau mau maju,
maka pola kontribusi di dalam PDRB-nya kira-kira harus mendekati capaian
jawa timur dan turki.
Total kontribusi sektor pelayanan pada PDRB Provinsi Riau sebesar
14,71 persen masih terlalu kecil bila dibandingkan dengan yang dicapai
oleh Jawa Timur sebesar 41,26 persen, ataupun Turki 55,10 persen. Negara
Bagian Johor di Malaysia, memiliki kontribusi perdagangan sebesar 47,0
persen pada PDRB-nya. Karena itu, perdagangan di Riau harus terus
difasilitasi supaya bisa menjadi kontributor utama PDRB sebagai
prasyarat menjadi daerah maju.
Perlu dicermati bahwa di Riau, kegiatan untuk pengadaan infrastruktur
listrik, air bersih, dan pengelolaan sampah/limbah sangat kecil
nilainya. Bahkan pengadaan air bersih kontribusinya cenderung terus
menurun. Besar kontribusinya hanya pada kisaran 0,05 persen untuk
listrik, dan 0,01 persen untuk pengadaan air bersih dan pengelolaan
sampah/limbah. Bandingkan dengan kontribusi serupa pada Jawa Timur
yaitu 0,36 persen dan 0,09 persen (7 kali lipat dari Riau), atau pada
Turki sebesar 1,80 persen dan 0,40 persen (40 kali lipat dari Riau). Ini
artinya pembangunan infrastuktur listrik, air bersih, dan pengelolaan
sampah/limbah di Riau masih terlalu minim, karena itu harus menjadi
prioritas ke depan.
Sektor transportasi pun masih ketinggalan jauh bila dibandingkan
dengan kontribusi yang dimiliki Jawa Timur, apalagi dibandingkan dengan
Turki. Sub sektor akomodasi, informasi/komunikasi, finansial/asuransi,
real estate, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan masih terpaut sangat
jauh bila dibandingkan dengan kontribusi sub-sub sektor tersebut di
dalam PDRB Jawa Timur maupun negara Turki. Riau harus meningkatkan 3
sampai 4 kali pembangunan di bidang-bidang pelayanan (Service) ini sebagai prasyarat untuk maju.
Data PDRB Riau 2010-2014 juga menunjukkan bahwa perkembangan
kontribusi sub sektor peternakan dengan kontribusi 0,57 persen pada
tahun 2010 menjadi 0,64 persen tahun 2014 (peningkatan 12,28 persen
dalam 4 tahun) menunjukkan iklim yang sehat. Demikian pula perikanan
dari 2,27 persen menjadi 2,57 persen pada periode yang sama. Trend ini
menginformasikan bahwa peternakan dan perikanan bisa menjadi idola baru
untuk pengembangan ekonomi di Riau dan karena itu patut diprioritaskan
karena sangat prospek.
Belajar dari UEA
Di salah satu koran nasional, 14/2/ 2016, disebutkan bahwa anjloknya
harga minyak mentah dunia hingga 30 dolar AS per barrel menyebabkan
guncangan ekonomi yang cukup dahsyat pada negara-negara Arab yang kaya
di kawasan Teluk. Arab Saudi mengalami defisit besar pada APBN 2016
sebesar 87 miliar dolar AS. Kuwait defisit pada APBN 2016 sebesar 40,2
miliar dolar AS. Mereka melakukan reformasi ekonomi besar-besaran untuk
mengantisipasi hal ini dengan menghemat pengeluaran dan bahkan sampai
memulangkan tenaga kerja asing.
Yang menarik adalah melihat pengalaman United Emirate Arab (UEA).
UEA adalah satu-satunya negara Arab Teluk yang berhasil membangun
beragam sumber devisa dan keluar dari jeratan ketergantungannya pada
minyak bumi. Produk Domestik Bruto (PDB) UEA pada tahun 1980 hanya
sebesar 151 miliar dolar AS, dengan komposisi pendapatan devisa dari
minyak 79 persen dan nonminyak 21 persen.
Tetapi kondisi ini berbalik
pada tahun 2014, di mana PDB UEAmencapai 314 miliar dolar AS, dengan
komposisi pendapatan devisa dari sektor non minyak 69 persen dan minyak
31 persen. Pendapatan devisa terbesar UEA saat ini berasal dari
industri pariwisata dengan Kota Dubai sebagai tujuan wisata
andalannya. Pada tahun 2014, Dubai dikunjungi 11,6 juta wisatawan, lebih
besar dari j umlah penduduk UEA yang hanya 9,2 juta orang. Industri
perhotelan di Dubai meraup pendapatan 6,6 miliar dolar AS pada tahun
2014.
Prestasi ini ditoreh oleh UEA karena mereka serius untuk
mereformasi secara total basis perekonomian mereka dari yang awalnya
mengandalkan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, beralih dengan
membangun beragam sumber pendapatan lain.
Bercermin pada capaian angka-angka di atas dan membandingkannya
dengan daerah dan negara lain, maka bisa dilihat sampai di mana Riau
berada. Kita perlu mencontoh Dubai dalam membangun basis
perekonomiannya. Kita harus memprioritaskan membangun infrastruktur air
bersih, listrik, dan jalan. Di samping itu kita harus memfasilitasi
supaya aktivitas perdagangan dan pelayanan (Services) yang merupakan celah besar yang kita masih tertinggal jauh. Itu jika kita masih ingin menjadi daerah yang maju.
Sumber : RIAU POS, 30 MARET 2016
Post a Comment